JAKARTA – Pakar Hukum Pidana Prof Romli Atmasasmita menekankan pentingnya mengerti ketentuan hukum pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), khususnya apabila penyidik tidak ada menemukan bukti permulaan yang tersebut cukup. Menurutnya, UU Tipikor sudah pernah mengatur jalan mengundurkan diri dari bagi penanganan persoalan hukum yang mana tidak ada mempunyai cukup bukti pidana melalui ketentuan Pasal 32 ayat 1.
“Jika penyidik tidaklah menemukan bukti permulaan yang digunakan cukup, tapi ada kerugian keuangan negara yang dimaksud signifikan, maka penyidik wajib melimpahkan perkara yang dimaksud ke Jamdatun (Jaksa Agung Muda Perdata dan juga Tata Usaha Negara) untuk kemudian dijalankan gugatan perdata,” kata Prof Romli di sidang lanjutan persoalan hukum dugaan korupsi PT Timah, hari terakhir pekan (6/12/2024).
Dalam praktiknya, membuktikan perbuatan bertarung dengan hukum (PMH) atau penyalahgunaan wewenang bukanlah hal yang digunakan mudah. Oleh sebab itu, penyusun UU memberikan opsi di Pasal 32 sebagai “escape clause” bagi kejaksaan.
Gugatan perdata dapat diajukan untuk memulihkan kerugian negara, tidak melalui mekanisme pidana. “Kalau demikian, kerugian keuangan negara itu tidak norma pidana, melainkan norma perdata, seperti ganti kerugian pada urusan perbuatan menghadapi hukum,” ujar Prof Romli.
Ia menjelaskan perbedaan mendasar antara kerugian keuangan negara lalu kerugian perekonomian negara. Menurutnya, kerugian keuangan negara lebih banyak mudah-mudahan dibuktikan lantaran mempunyai dasar hukum yang mana jelas, seperti yang tersebut tercantum pada UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara juga UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan juga Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Sementara itu, kerugian perekonomian negara dianggap lebih banyak kompleks serta sulit dibuktikan lantaran batasannya tidaklah jelas dan juga bersifat fluktuatif. “Perekonomian negara itu hanya sekali bisa jadi dilihat oleh ahli sektor ekonomi makro, tidak mikro,” tegasnya.
Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam (SDA), diantaranya tata niaga timah, Prof Romli berpandangan bahwa hal yang disebutkan lebih tinggi berkaitan dengan kerugian perekonomian negara daripada kerugian keuangan negara. Ia menyimpulkan bahwa menjamin adanya kerugian perekonomian negara di waktu yang dimaksud singkat adalah hal yang tersebut sulit dilakukan.
Prof Romli juga menyoroti pentingnya dakwaan yang jelas serta cermat sesuai Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP. Dakwaan yang dimaksud bukan menjelaskan peran setiap terdakwa pada aktivitas pidana dapat dianggap kabur atau “obscure” dan juga berpotensi batal demi hukum.
“Jika dakwaannya dirunut sedemikian rupa tetapi tidaklah terlihat jelas siapa yang digunakan melakukan, menyuruh, turut serta, atau membantu, maka dakwaan itu diantaranya tidak ada jelas juga dapat batal demi hukum,” katanya.
Dalam sidang tersebut, penasihat hukum terdakwa, Marcella Santoso, turut mempersoalkan tak adanya penjelasan konkret terkait peran dari 20 terdakwa pada persoalan hukum yang digunakan disampaikan oleh jaksa penuntut umum. Menurutnya, penegakan hukum harus mengacu pada asas legalitas bahwa tiada ada perbuatan yang digunakan dapat dipidana kecuali telah terjadi diatur di undang-undang.
Prof Romli kembali menegaskan bahwa doktrin hukum pidana di Indonesi menganut prinsip “tiada satu perbuatan yang digunakan dapat dipidana kecuali yang tersebut tercantum pada aturan”. Hal ini harus berubah jadi dasar di penegakan hukum agar kepastian hukum dapat diwujudkan.
Artikel ini disadur dari Sidang Kasus Timah, Pakar Hukum: Jika Penyidik Gagal Temukan Bukti, Gugatan Perdata Bisa Diajukan