Moderasi Beragama Penopang 4 Pilar Kebangsaan Indonesia

JAKARTA – Beberapa pihak kerap menyamakan moderasi beragam dengan prinsip sekularisme yang memisahkan urusan negara dengan agama. Padahal, moderasi beragama justru mengaitkan keduanya pada sikap yang mana seimbang. Moderasi beragama adalah upaya yang digunakan disusun dengan kesadaran tinggi untuk menempatkan ajaran agama di kerangka kebhinekaan Indonesia.

Ketua Pengurus Besar Al-Washliyah HM Affan Rangkuti menjelaskan kedudukan dari moderasi beragama. Menurutnya, pendapat tentang seruan moderasi beragama sebagai upaya sekularisme adalah keliru. Moderasi beragama adalah sebuah aksi yang mengatur cara pandang, sikap, dan juga perilaku agar insan Nusantara setiap saat mengambil sikap di tengah, setiap saat berlaku adil, juga tidak ada ekstrem pada beragama.

“Kita sangat memahami, semua penduduk mempunyai pengetahuan lalu pengalaman pada beragama pasti mempunyai perbedaan. Akan tetapi, kita juga harus tahu bahwa pada perbedaan yang disebutkan memiliki satu persamaan, yaitu sama-sama bermetamorfosis menjadi manusia yang tersebut bertakwa. Tak ada ajaran agama manapun yang mengajarkan takwa yang dimaksud menyimpang, tetapi semua agama mengajarkan takwa di hal kebaikan bagi diri, lingkungan kemudian alam semesta,” kata Affan pada Jakarta, Kamis (30/5/2024).

Ketua Umum Pengurus Besar Alumni Petugas Haji Negara Indonesia (PB FKAPHI) ini menyebutkan moderasi beragama sebenarnya sudah ada dikenal sejak lama, lalu berubah menjadi salah satu amanat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Hal ini sangat penting, khususnya pada situasi kemudian status bangsa yang digunakan sedang tergerus nilai toleransinya. Harapannya, Negara Indonesia yang mana telah dipersatukan dengan 4 Pilar Kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika kemudian NKRI sanggup semakin kuat dengan menerapkan moderasi beragama.

Affan Rangkuti juga bersyukur akibat Tanah Air yang tersebut terdiri dari 38 provinsi, 514 kabupaten kota yang digunakan dihuni 1.331 kategori suku pada 17.024 pulau dengan jumlah keseluruhan penduduk sebanyak 270,20 jt jiwa mampu bertahan hingga pada waktu ini. Kenyataan ini tentu menjadi kebanggaan tersendiri, mengingat banyak bangsa dalam masa berikutnya terpecah oleh sebab itu perbedaan ideologi.

“Tonggak 4 Pilar Kebangsaan mampu bertahan juga menyebabkan berubah jadi bangsa berubah menjadi lebih tinggi maju. Dalam perjalanannya, pelbagai kesulitan muncul, dari paham ideologi yang mana bukan sesuai dengan kepribadian bangsa hingga intoleransi. Semua dapat dipatahkan dengan kepribadiaan bangsa yang mana kokoh,” katanya.

Menurut Affan Rangkuti, bicara nasionalisme tentu erat kaitannya dengan kebanggaan terhadap bangsa sendiri. Kebangaan ini wajib diletakkan sesuai pada kadarnya, tidak ada berlebihan seperti pada konsep etnosentrisme.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa masyarakat Nusantara penting belajar menghargai budaya yang dimaksud baru dikenal yang mana asalnya dari luar kelompok, sukunya atau pun bangsanya, sehingga rute interaksi horizontal bisa saja berjalan dengan baik. Namun, diperlukan diingat bahwa penerimaan lalu kebanggaan berhadapan dengan budaya lain juga bukan dijalankan dengan berlebihan, seperti yang digunakan dituangkan di konsep xenosentrisme.

“Memilih etnosentrisme, xenosentrisme atau anti keduanya memiliki konsekuensi di interaksi sosial. Memilih etnosentrisme berdampak pembentukan sikap superior serta segregasi rasial. Mengubah arah berubah menjadi xenosentrisme dianggap tak merawat warisan budaya leluhur,” imbuhnya.

Jika kemudian ada yang dimaksud berpikir bahwa yang tersebut terbaik adalah menolak kedua konsep tersebut, menurut Affan Rangkuti, akan berdampak tidak ada baik pada tatanan sosial. Jalan berada dalam dari fenomena ini adalah akulturasi juga asimilasi.

Artikel ini disadur dari Moderasi Beragama Penopang 4 Pilar Kebangsaan Indonesia