Nugroho Habibi
Mahasiswa Magister Kebijakan Publik juga Governansi Universitas Indonesia
KORUPSI telah lama berubah menjadi penyakit kronis pada Indonesia yang digunakan belum mampu diobati dengan beragam resep. Ada beberapa jumlah perkara besar yang mana berhasil diungkap baru-baru ini, ke antaranya perkara korupsi tata niaga PT Timah dengan kerugian negara Rp271 triliun sejak 2015-2022, Base Transceiver Station (BTS) 4G serta infrastruktur pendukung Badan Aksesibilitas Telekom kemudian Berita (Bakti) Kominfo dengan kerugian Rp8,32 triliun, hingga pemerasan lalu gratifikasi Rp44,5 miliar di Kementan era Syahrul Yasin Limpo (SYL). Selain itu, masih berbagai perkara korupsi lainnya yang digunakan sedang ditangani oleh lembaga penegak hukum.
Pengungkapan tindakan hukum korupsi juga belum sebanding dengan pengembalian uang negara. Angka Tanah Air Corruption Watch (ICW) tahun 2023 memperlihatkan bahwa persoalan hukum korupsi telah lama merugikan negara sebesar Rp29,9 triliun, sedangkan 2022 kerugian akibat aktivitas pidana korupsi tembus Rp48,786 triliun dengan tingkat pengembalian kerugian melalui pidana tambahan uang pengganti hanya sekali sebesar 7,83% atau Rp3,821 triliun. Apalagi, Skala Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2023 stagnan dengan skor 34 yang tersebut menempatkan Negara Indonesia pada peringkat 115 dari 180 negara.
Upaya pencegahan dan juga penindakan tindakan hukum korupsi sejatinya telah terjadi dilaksanakan oleh pemerintah melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan strategi represif, perbaikan sistem, juga edukasi juga kampanye. Sementara, Kejaksaan Agung (Kejagung) menitik beratkan pada penindakan subjek hukum warga kemudian korporasi, pemberantasan korupsi yang dimaksud merugikan keuangan dan juga perekonomian negara, dan juga penerapan pidana pencucian uang (TPPU) pada kasus-kasus korupsi. Upaya memberantas korupsi akan semakin kuat jikalau didukung secara konstitusional salah satunya dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP).
Mendorong DPR
Naskah RUU PATP sudah dibahas sejak era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2008. Di akhir masa jabatan periode kedua Presiden Joko Widodo, RUU PATP akhirnya masuk pada daftar 39 RUU Inisiatif Legislasi Nasional (Prolegnas) Fokus 2023. Sayangnya, 16 tahun berlalu RUU PATP tak kunjung dibahas kembali oleh DPR.
RUU PATP kental dengan nuansa politis. Rezim Jokowi ingin mendapatkan legacy menghadapi keseriusannya pada pemberantasan korupsi sebagai ‘kado’ untuk bangsa dalam akhir masa jabatannya. Sedangkan, bagi pejabat masyarakat bukan terkecuali anggota DPR memunculkan perasaan khawatir ‘getah’ RUU PATP. Sebab, RUU PATP bukan semata-mata mengatur tentang perbuatan pidana korupsi tetapi juga yang mana berhubungan dengan kejahatan yang dimaksud merugikan perekonomian negara pada antaranya; penghindaran pajak, narkotika, penipuan, penggelapan, perjudian serta perusakan lingkungan.
Secara singkat, RUU PATP sebagai komitmen Indonesia pada memberantas korupsi kemudian mengatasi aset negara yang tersebut dimulai dengan hadirnya UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003. Sebelum RUU PATP disahkan, perampasan aset terhadap pelaku langkah pidana korupsi atau langkah pidana pencucian uang masih harus melakukan pembuktian pidana jika terlebih dahulu melalui tahapan persidangan yang tersebut cukup panjang.
Sebaliknya, jikalau RUU PATP dapat disahkan, maka pemrosesan perampasan aset dapat dijalankan tambahan cepat melalui analisis profil, perolehan pendapatan, besaran pajak yang dimaksud disetorkan oleh pejabat berwenang. Hal ini bukan akan mengulangi kejadian tindakan hukum yang mana menjerat mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo yang tersebut begitu susahnya melakukan perampasan aset yang dimaksud mencapai Rp150 miliar. Padahal Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Rafel Alun belaka sebesar Rp50 miliar.
Sebagai institusi negara, Lembaga Legislatif mempunyai tiga pilar utama yang dikemukakan oleh William R Scott (2013) yakni, regulatif, normatif lalu budaya kognitif. Pilar regulasi merupakan aktivitas tahapan penyusunannya, rule-setting, monitoring dan juga sanksi. Pilar normatif sebagai nilai-nilai yang tersebut merupakan pedoman bagi pejabat yang tersebut menduduki kursi DPR itu sendiri.
Dalam paradigma budaya kognitif, perilaku anggota DPR dipengaruhi oleh serangkaian interpretatif internal di kerangka kultural eksternal serta lingkungan kolektifnya. Dalam tarik-ulur RUU PATP, anggota DPR tentu terpengaruh budaya yang ada pada institusinya. Sehingga patut diduga bahwa belum disahkannya RUU PATP ini disebabkan oleh budaya institusi yang cenderung tak memberikan perhatian pada sesautu yang mana tiada menguntungkan. Padahal, sebagian besar konstituen anggota DPR di akar rumput menginginkan RUU PATP dapat segera disahkan.
Jika mengawasi rekam jejak institusi DPR, tingkat kepercayaan masyarakat selalu rendah. Dalam survey terbaru yang digunakan direalisasikan Indikator Politik Indonesi yang berlangsung pada 4 April sampai dengan 5 April 2024 dengan jumlah total 1.201 responden, menemukan bahwa kepercayaan rakyat terhadap institusi DPR cuma 56% serta partai urusan politik sebesar 51%, yang dimaksud menempatkan DPR di sikap terendah kedua setelahnya partai politik.
Membentuk Koalisi Advokasi
Untuk mempertahankan asa lalu menggalakkan RUU PATP dapat dituntaskan, maka penting untuk membentuk koalisi advokasi. Dalam koalisi advokasi ini tentu ada banyak pihak yang tersebut terlibat diantaranya, organisasi anti korupsi, akademisi, praktisi, kemudian masyarakat. Secara sederhana, agar koalisi ini berjalan dengan baik, organisasi anti korupsi seperti Koalisi Anti Korupsi Indonesaia (KAKI) atau ICW harus bermetamorfosis menjadi motor penggerak koalisi untuk mempengaruhi pemangku kebijakan.
Menurut Edi Suharto (2005) di menjalankan koalisi advokasi ini, dibutuhkan tiga jaringan kerja advokasi. Pertama, supporting units untuk memberikan dukungan sebagai dana, logistik, akses serta informasi. Kedua, groundworks untuk memulai pembangunan basis masa, sekolah politik, membentuk lingkar inti mobilisasi aksi, serta kampanye. Ketiga, front lines untuk melaksanakan fungsi juru bicara, lobby, negosiasi, terlibat di rute legislasi serta litigasi, juga menggalang sekutu. Jika diperkirakan, permasalahan yang tersebut muncul nantinya adalah biaya sehingga diperlukan penggalangan dana melalui platform digital online untuk membantu pergerakan ini.
Selain itu, untuk menguatkan koalisi ini, diperlukan pemetaan tingkat perhatian 580 anggota DPR terhadap persoalan hukum korupsi, mengingat RUU ini pengusulnya adalah pemerintah. Pasalnya, kekuatan besar yang digunakan berubah menjadi penentu cepat tidaknya pembahasan adalah partai politik. Dengan pemetaan kepedulian anggota DPR, setidaknya dapat membantu koalisi advokasi ini pada meyakinkan pentingnya RUU PATP untuk petinggi partai politik. Untuk menyita perhatian perhatian anggota DPR ini, koalisi penting memperlihatkan kondisi-kondisi yang tersebut berlangsung pada konstituen merekan akibat dampak dari korupsi, di antaranya meyakinkan bahwa apabila RUU PATP disahkan, maka kepercayaan penduduk terhadap institusi DPR akan berangsur membaik.
Terakhir, koalisi advokasi ini juga harus menggandeng media massa. Dunia Pers massa yang dimaksud berubah menjadi pilar keempat demokrasi ini, diharapkan dapat menyuarakan pentingnya pengesahan RUU PATP dengan terus menyinggung RUU PATP pada pemberitaan agar segera dibahas.
Artikel ini disadur dari Ikhtiar Menjaga Asa RUU Perampasan Aset